Interaksi sosial adalah hubungan sosial antara individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Kita sebagai manusia akan selalu melakukan interaksi sosial di manapun kita berada, karena manusia adalah makhluk sosial. Jarang sekali seseorang bisa hidup tanpa bantuan orang lain sama sekali.
Untuk saya yang bermigrasi dari negara yang beriklim tropis, hangat, dan berpenduduk padat ke negara di belahan bumi utara yang dingin dan sepi tentu saja mendapat tantangan saat berinteraksi dengan orang-orang lokal. Orang-orang di Estonia memiliki budaya yang berbeda dengan di Indonesia, maka cara berinteraksinya juga berbeda. Sebagai pendatang saya harus bisa memahami itu, agar bisa berintegrasi dengan baik.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Berikut ini beberapa hal yang saya pelajari sejauh ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi baik di tempat umum maupun di lingkungan kerja. Siapa tahu teman-teman ada yang berkesempatan untuk mengunjungi atau pindah ke Estonia, jadi tidak akan terlalu kaget.
Sewaktu kecil, saya selalu diajari oleh ibu saya untuk selalu senyum saat bertemu orang lain. “Agar ramah dan tidak terkesan sombong”, katanya. Maka sampai dewasa pun saya selalu murah senyum kepada siapa saja. Kalau diperhatikan, memang kebanyakan orang Indonesia begitu bukan? Saat sedang berjalan dan terjadi kontak mata respon pada umumnya tentu sama-sama memberi senyum. Entah itu senyum palsu, senyum sinis, atau betul-betul senyum tanda senang. Itu mengapa orang Indonesia terkenal ramah, karena kita murah senyum.
Sangat berbeda situasinya dengan di Estonia. Waktu awal tiba di sini, saya masih suka memberi senyum kepada siapa pun di jalan. Terutama jika terjadi kontak mata. Tapi tidak ada balasan. Dingin. Beberapa malah terlihat mempercepat langkah. Mungkin saya dikira gila senyum-senyum tidak jelas.
Setelah diselidiki dengan cara bertanya ke teman sesama imigran yang sudah lebih lama di sini dan googling, jadi memang orang Estonia sangat jarang tersenyum. Kalau pun akhirnya mereka senyum, biasanya karena sudah saling kenal dan memang betul-betul ingin tersenyum.
Orang-orang Estonia kalau bicara sangat seperlunya. Tidak hanya saat bicara langsung secara tatap muka, bahkan membalas pesan di email atau aplikasi chat pun sangat irit. Saya pernah ditegur oleh konsultan akuntansi yang saya pakai untuk mengurus bisnis sampingan saya di Estonia karena saya terlalu berbasa-basi kalau menghubungi dia. Selayaknya orang Indonesia atau orang Amerika Serikat, selalu mengawali pesan di aplikasi chatting dengan bertanya kabar, “Hi, how are you? (Hai, apa kabar?)” Konsultan akuntansi saya menjawab, “You don’t need to ask me that everytime you send me a message. Just say hi and tell me what is your intention. (Kamu tidak perlu bertanya itu setiap kali kamu mengirim pesan. Cukup katakan hai dan tulis keinginanmu.)” Jadi ternyata menanyakan kabar hanya untuk berbasa-basi agar terlihat ramah itu terhitung kasar. Tanya kabar hanya kalau memang punya niat untuk mendengarkan dan siap memberi saran kalau ternyata kabar yang ditanya sedang tidak baik-baik saja.
Ternyata memang jika saya perhatikan di lingkungan kerja saya pun, teman-teman yang asli Estonia tidak melakukan hal itu. Sangat jarang mereka saling menyapa dengan, “how are you?, atau kalau dalam bahasa Estonia, “kuidas läheb?” kalau hanya untuk sekadar menyapa. Jika mereka sampai menanyakan kabar, biasanya si penanya akan diam dan mendengarkan keseluruhan cerita dan merespon balik. Sehingga bisa terjadi obrolan panjang hingga 2-5 menit hanya untuk sebuah pertanyaan sederhana. Oleh karena itu, biasa di kantor saling bertanya dan mengobrol hal di luar pekerjaan ketika sedang jam makan siang.
Tidak hanya pertanyaan basa-basi, bahkan pertanyaan serius pun jika mereka tidak tahu jawabannya mereka akan segera menjawab kalau mereka tidak tahu. Jika pertanyaannya disampaikan lewat jalur elektronik, biasanya mereka tidak akan membalas jika tidak atau belum tahu jawabannya. Pernah satu ketika saya melayangkan pertanyaan ke HRD di kantor lewat aplikasi Slack, satu hari penuh tidak ada balasan padahal saya perhatikan dia selalu online. Esoknya tiba-tiba saya dapat email dari rekan kerja di divisi lain yang menjawab pertanyaan saya. Ternyata HRD saya melemparkan pertanyaan saya ke tim lain yang lebih paham.
Kombinasi dari pelit senyum dan tidak suka basa-basi, menjadikan Estonia terkenal sebagai negara dengan layanan pelanggan yang buruk, terkesan kasar, dan tidak punya empati. Setidaknya ini menurut ekspatriat yang berasal dari negara-negara yang layanan pelanggannya senang basa-basi seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Sebagai contoh, kasir manusia di supermarket lokal sangat jarang tersenyum. Paling hanya mengeluarkan satu atau dua kata, “Card? (apakah mau bayar dengan kartu atau uang tunai)” dan “Aitäh (terima kasih)”.
Pernah satu ketika istri saya melakukan pre-order iPhone, dan ternyata hingga 3 bulan tidak kunjung datang karena ada masalah distribusi dari Apple. Istri saya memutuskan untuk meminta uang kembali dengan cara bertanya lewat email ke layanan pelanggan, “Can I refund my order?” Hingga tiga minggu tidak dibalas. Akhirnya saya sarankan untuk datang ke toko saja dan bertanya langsung. Ternyata oleh penjaga toko disuruh kirim email ke alamat yang sama isinya cukup nomor pesanan, nomor rekening untuk refund, dan tulis “refund”. Tidak sampai tiga hari uang sudah masuk ke rekening.
Dari kejadian tersebut, saya menarik kesimpulan untuk berkomunikasi dengan layanan pelanggan di Estonia sebaiknya tidak perlu bertanya dengan pertanyaan yang menggantung. Lebih baik langsung kemukakan apa yang diinginkan.
Saat pandemi Covid-19, kita selalu disuruh untuk menjaga jarak setidaknya 1,5 meter. Saya teringat sebuah omongan dari orang Estonia di grup e-Residency, “I don’t think we need that. We always stand more than 2 metres in our life. (Saya rasa kami tidak perlu itu. Kami selalu berdiri dengan jarak lebih dari 2 meter di kehidupan kami.)” Saya baru bisa paham setelah akhirnya pindah ke Tallinn. Saat menunggu bus atau tram mereka akan berdiri dengan jarak yang sangat renggang agar tidak disapa oleh orang lain. Biasanya yang berdiri berdekatan hanya sesama yang sudah saling kenal saja.
Sesama teman pun terkadang tidak saling menyapa di tempat umum jika salah satunya terlihat sedang sibuk. Pernah satu ketika teman kantor saya berkata, “I saw you yesterday in Prisma (Saya melihat kamu kemarin di Prisma).” Lalu saya jawab, “Why didn’t you say hi to me? (Mengapa kamu tidak menyapa saya?)” Jawaban dia, “You looked busy with your stuff (Kamu terlihat sibuk dengan urusanmu). I didn’t want to bother you (Saya tidak mau menggangu kamu).” Jadi menurut dia kalau dia menyapa saya, dia akan mengganggu saya karena mau tidak mau akan terjadi obrolan.
Bertolak belakang dengan soal menghormati ruang personal orang lain, orang Estonia itu lebih suka memeluk dibandingkan berjabat tangan. Saat pertama kali bertemu dengan rekan-rekan di kantor secara offline, entah laki-laki maupun perempuan mereka memeluk saya. Pada awalnya saya merasa risih, terutama jika yang memeluk adalah perempuan. Memang pelukan yang diberikan bukan pelukan erat, tapi tetap saja bahu bertemu bahu dan saling menyentuh punggung. Lama-lama akhirnya bisa merasa terbiasa juga.
Pelukan ini biasanya dilakukan saat pertama kali bertemu, saat berpisah setelah terlibat obrolan yang panjang, atau saat ada kejadian yang terasa canggung. Istri saya pernah mengalami kejadian dia diajak mengobrol oleh ibu-ibu dengan bahasa Estonia di supermarket. Istri saya tidak paham bahasa Estonia jadi asal menanggapi dengan, “ya ya” saja. Lalu setelah obrolan agak panjang, istri saya memberi tahu kalau dia hanya bisa berbahasa Inggris. Akhirnya ibu tersebut tertawa dan memeluk istri saya.
Orang-orang Estonia memang terkesan dingin dan kaku seperti es batu. Tetapi jangan salah, mereka sebetulnya dingin di luar tapi hangat di dalam. Mereka tidak segan menawarkan bantuan jika mereka bisa membantu. Saya ada contoh kejadian terbaru soal ini. Istri dan saya sedang berbelanja di sebuah toko yang sangat besar, saat itu kami sedang di kasir. Kasir bertanya kepada saya dalam bahasa Estonia, “Kas sul on kliendikaart? (Apa saya punya kartu pelanggan?)”. Saya jawab, “Ei ole (tidak ada)”, karena memang itu kali pertama berbelanja di toko tersebut. Lalu saya lanjut dengan bahasa Inggris karena kosa kata bahasa Estonia saya masih terbatas, “What’s the benefit? (Apa keuntungannya?)”. Akhirnya kasir tersebut menjelaskan kalau tanpa kartu pelanggan saya harus membayar harga penuh. Dalam pikiran saya, ya sudah bayar harga normal juga tidak masalah. Tiba-tiba ada orang Estonia di belakang saya berkata, “Use my card and get the discount (Pakai kartu saya biar kamu dapat diskon). Palun (Silakan).”, dan tanpa kami minta dia langsung tap kartunya ke mesin kasir.
Saya pernah membaca di suatu artikel di Internet. Menembus hati orang Estonia itu cukup sulit, tetapi sekali kita bisa menembusnya mereka akan jadi teman yang menyenangkan.
Beberapa tips dari saya untuk berinteraksi dengan orang Estonia yang sejauh ini berjalan baik:
Untuk orang yang sedikit introvert seperti saya, Estonia benar-benar seperti surga. Tidak perlu lelah berbasa-basi hanya biar terkesan ramah. Bahkan untuk mengkritik seseorang pun tidak perlu dengan gaya sindir menyindir, cukup lakukan kritikan yang membangun dengan bahasa yang langsung dan jelas.